MANUHIR
Sabtu, 04 September 2010
Manuhir merupakan sebuah pengobatan alternatif dari Dayak Ngaju. Pengobatan ini adalah sebuah proses untuk mengeluarkan tanda darah kotor yang terdapat pada seseorang yang harus dikeluarkan dari tubuh.
Bilamana darah kotor ini tidak dikeluarkan menurut kepercayaan asli masyarakat dayak Ngaju maka orang tersebut akan mengalami mati berdarah seperti kecelakaan, disambar buaya atau tenggelam.
Orang yang dapat melihat adanya tanda darah kotor ini dinamakan Tampung.
Manuhir adalah sebuah proses mengeluarkan darah dari jempol atau dari bagian tubuh lain seseorang dengan jalan mengiris / menyayat atau juga melukai, yang dalam bahasa Dayak Ngaju berarti Tuhir.
Manuhir diperlukan karena untuk mengeluarkan darah dari orang yang mau diobati, sehingga ancaman atau gangguan dari luar dapat dihindari. Kuasa Tuhan yang Maha Kuasa / Jubata diperlukan untuk mengeluarkan darah itu dengan pembacaan doa-doa khusus yang ditujukan kepada seseorang yang akan diobati.
Tanda darah kotor ini bisa muncul dari sejak bayi atau sudah dewasa. Keberadaan tanda darah kotor ini bisa diketahui dari adanya "Pahuni" yang bisa dilihat oleh seseorang yang punya kemampuan untuk melihatnya. Orang yang mampu melihatnya harus memberitahukan kepada orang yang memiliki tanda darah kotor ini untuk di keluarkan karena kalau tidak maka bencana itu akan menimpa dirinya.
Syarat yang harus dilengkapi untuk mengeluarkan darah kotor ini yaitu: sebutir telur ayam kampung, sebatang jarum kecil, serpihan emas atau perak, sejumlah uang kertas yang digulung dan diletakkan di atas mangkuk putih yang berisi beras.
Jarum digunakan untuk mengeluarkan darah dari ibu jari orang yang akan diobati. Dan serpihan emas atau perak untuk menutup bekas tusukan jarum pada tempat jalan keluar dari darah kotor dari jempol penderita. sedangkan telur ayam digunakan untuk membuat tepung tawar bagi penderita yaitu beras yang telah dimasukkan ke dalam telur ayam kampung yang telah dipecahkan terlebih dahulu.
R. Onasis
Sumber: Majalah Kalimantan Review no:174/XIX/Februari/2010