My Holiday guide you to see the beauty of the West Borneo

Sejarah Cap Go Meh

Rabu, 03 Maret 2010

Cap Go Meh merupakan ucapan untuk hari ke-15 setelah hari perayaan Tahun Baru Imlek dalam dialek Tio Chiu maupun Hokkian. Sedangkan pengucapan dalam dialek Kek atau Hakka pengucapannya Cang Nyiet Pan yang berarti Pertengahan Bulan atau Selisih Setengah Bulan kadang kala ada juga yang menyebutnya Sin Min Sang ( Perayaan untuk para Dewa ). Sementara untuk di daratan Tiongkok sendiri disebut dengan Yuan Xiau Jie yang bermakna Festival Malam Bulan Pertama.

Kalau diruntut ke belakang, perayaan Cap Go Meh di Indonesia itu telah ada sejak abad ke-17 saat di mulainya imigrasi masyarakat Tionghoa dari Cina Selatan ke Indonesia. Pada masa dinasti Han, kaisar ikut merayakan peristiwa ini bersama dengan seluruh rakyat. Sedangkan pada jaman dinasti Zhou sekitar abad ke-8 sampai dengan pertengahan abad ke-2 sebelum Masehi, perayaan tanggal 15 malam bulan pertama Imlek para petani memasang dan menyalakan lampion di sekitar ladang dan sawah untuk mengusir hama serta menakuti binatang perusak tanaman. Perayaan ini mereka namakan Cau Tian Chan yang berarti menerangi sawah atau ladang. Mungkin ini yang merupakan awal dimulainya festival lampion setiap tahun pada pertengahan bulan pertama Imlek. Inilah salah satu versi tentang awal mula Cap Go Meh.

Bersama dengan nyalanya lampion itu juga ditabuh gendang dan kencrengan yang meimbulkan bunyi yang berfungsi untuk menakuti hewan yang akan merusak tanaman mereka. untuk lebih memeriahkan suasana maka di ciptakanlah aneka macam bentuk hiburan seperti barongsai dan naga yang dalam mitologi masyarakat China berfungsi sebagai hewan pembawa keberuntungan dan pelindung mereka. Berjalan seiring dengan waktu maka kebiasaan ini menjadi sebuah adat kebiasaan yang terus berkembang dan diwariskan turun temurun ke generasi yang lebih muda hingga sampai saat ini.

Mengapa perayaan Cap Go Meh berubah anggapan dari perayaan rakyat menjadi perayaan keagamaan ini karena kemungkinan karena perayaan ini pada jaman dulu lebih banyak dipusatkan di sekitar Kuil atau Kelenteng. Tentunya hal ini dapat dimaklumi karena kebanyakan masyarakat Tionghoa pada saat itu merupakan penganut ajaran Konfusius, Tao dan Budha. Sejatinya masyarakat penganut Konfusius melakukan ibadat bukan di Kuil atau Vihara akan tetapi Bio atau Sin Miau yang berarti tempat tinggal Dewa atau Dewi. Sedangkan untuk masyarakat Tionghoa suku Hakka atau Kek lebih sering menyebutnya dengan Pakkung.

Perayaan Cap Go Meh yang kita lihat sekarang tentu sudah mengalami banyak perubahan, akan tetapi permainan naga dan barongsai tidak akan pernah lepas. Untuk barongsai sendiri sebenarnya ada dua macam yaitu Khilin dan Sie. Cuma yang lebih terkenal itu adalah Sie sedangkan Khilin sudah mulai hilang. Pembeda fisik antara kedua jenbis itu adalah adanya tanduk untuk Khilin dan Sie sendiri tidak memilikinya. Untuk musiknya juga berbeda iramanya.Kalau kita dengarkan irama tetabuhan untuk Khilin itu seperti musik Tango yang dominan dengan staccatonya.

Kalau adanya Tathung ( orang yang dalam keadaan trance karena kemasukan roh dewa atau dewi ) yang ada dalam perayaan Cap Go Meh itu lebih banyak berkembang kemudian dan ini sepertinya hanya ada di Indonesia saja. ( MWB:dari berbagai sumber )

1 comments:

Hope-Cellular 15 Maret 2010 pukul 22.27  

Kapan2 saya mau nich ke Singkawang lihat cap go meh !!!!!!!

Posting Komentar

Labels

anggrek hitam (1) Antu gergasi (1) bakpao (1) bakul (1) bambu (1) baning. Nephentes (2) barongsai (3) baronsai (1) batik (2) batik Tidayu (2) bawang putih (1) Bengkayang (1) bengkuang (1) beras ketan (1) betang (1) Bidayuh (1) bika (1) bokor (1) Borneo (1) buah golau (1) bubur (1) bubur gunting (1) bukit kelam (1) cakkue (1) cap go meh (2) cerita dayak (1) cerita rakyat (1) Cucur (1) cuisine (1) daging babi (2) daun pandan (1) daun pisang (1) Dayak (14) Dayak Jangkang (1) dayak mualang (1) Dayak Ngaju (1) Dayak pesaguan (1) Dewi Kwan Im (1) doa bapa kami (1) dwikora (1) ensaid panjang (1) es jeruk nipis (1) Festival (1) garam (1) gima (1) giring-giring (1) gula merah (4) gula pasir (2) gunung (2) ham pan (1) handcraft (12) hukum adat (2) hutan (2) Iban (1) ibanik (1) ikan (1) imlek (1) Jubata (1) juhi (1) kacang tanah (1) kain (2) Kalbar (10) Kalimantan Barat (33) kanayat'n (1) kantong semar (1) kantong semarm sintang (3) kapuas (2) katak (1) kayau (1) kelenteng (1) kelepon (1) kendayan (1) kerajinan tangan (8) keranjang (1) ketan (1) ketapang (1) ketupat (1) kue (8) kue bongko (1) kue dadar gulung (1) kue getuk ubi (1) kue Hu (1) kue kelepon (2) kue lapis (1) kuetiau (1) kuil (1) kuliner (2) lamang (1) lampion (1) landak (1) laut (1) leluhur (1) lezat (1) lila (1) lotos (1) makanan (4) manik-manik (5) Manisan (2) manuhir (1) Melayu (4) mengayau (1) mietiau (1) muri (1) naga (4) nenas (1) Ngaju (1) Nyobeng (1) Oleh-oleh (2) oncoi (1) our lord prayer (1) Pahuni (1) pakaian adat (5) pandan (1) panggang (1) pangkong (1) pantai (2) parutan kelapa (2) pati nyawa (1) peci (2) Pekong (2) penganan (1) Pengkang (1) petis (1) pewarna makanan (1) pisang goreng (1) Pontianak (4) pulut (1) ragi (1) resort (1) rujak (1) rumah adat Dayak (1) Rumah panjang (1) santan (2) sapek (1) Sekadau (1) serampang (1) singa (1) singgkawang (2) singkap mangkok (1) singkar (1) Singkawang (44) singkop (1) Sintang (3) sola (1) songkok (2) sotong (1) sungai (3) Supadio (1) tael (1) tajau (2) Tampung (1) tape (1) tathung (1) Tatung (2) telur (1) tempayan (2) Temple (2) tengkorak (1) tenun ikat (4) tenun traditional (1) Teping kanji (1) tepung beras (3) tepung beras ketan (1) tepung gandum (1) tepung terigu (1) thiam pan (1) timun (1) tionghoa (4) Toa Pekong (1) traditional (1) tuak (1) Tumpi (1) Tumpik (1) ubi kayu (1) udang (1) upacara (1) vanili (1) vihara (3) wajik (1) wajik ketan (1) wisata (1)

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP